Gubernur Kalbar Dorong Optimalisasi DBH SDA dalam Rakor Gubernur se-Indonesia

Rapat Koordinasi Gubernur di Ballroom Hotel Novotel Balikpapan, Kalimantan Timur. (Foto:ist)
BALIKPAPAN, KALTIM (BK) — Gubernur Kalimantan Barat, Drs. H. Ria Norsan, MM., MH., menghadiri Rapat Koordinasi Gubernur yang mengangkat tema “Sinergi Daerah Penghasil Sumber Daya Alam (SDA) untuk Menggali Potensi Dana Bagi Hasil (DBH) Sektor Pertambangan dan Kehutanan Guna Penguatan Fiskal Daerah”, Rabu (9/7/2025) di Ballroom Hotel Novotel Balikpapan, Kalimantan Timur.

Kegiatan ini dihadiri oleh 12 gubernur dari berbagai provinsi penghasil SDA, termasuk dari Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Sumatera. Gubernur Kalimantan Timur bertindak sebagai tuan rumah.

Dalam forum tersebut, Gubernur Ria Norsan menekankan pentingnya optimalisasi penerimaan daerah dari sektor pertambangan dan kehutanan, terutama melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ia menjelaskan bahwa Kalbar memiliki lebih dari 2.000 desa, dengan 1.157 desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan, mencerminkan ketergantungan masyarakat terhadap hutan sebagai sumber kehidupan.

"Wilayah Kalbar seluas 14,7 juta hektare, di mana 57 persen merupakan kawasan hutan dan sisanya APL. Kalbar juga memiliki 162 ribu hektare mangrove, mayoritas dalam kondisi lebat," jelasnya.

Ia juga menyoroti belum maksimalnya pengelolaan kehutanan, dengan hanya lima dari 17 UPT KPH yang beroperasi secara efektif, serta luas lahan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) mencapai 2,79 juta hektare.

Tantangan regulasi nasional menjadi sorotan, terutama penghapusan PNBP Iuran Tetap untuk Komoditas Mineral Bukan Logam dan Batuan melalui PP No. 19/2025, yang dinilai dapat berdampak serius terhadap penerimaan daerah karena belum adanya aturan pengganti.

"Fluktuasi DBH sangat terasa. Dari Rp97,2 miliar pada 2020, turun menjadi Rp32,8 miliar pada triwulan I tahun ini. Ini perlu menjadi perhatian bersama," ujarnya.

Per Maret 2025, Kalbar tercatat memiliki 65 unit PBPH dengan total luas 2,75 juta hektare, serta 114 unit industri primer pengolahan hasil hutan. Program perhutanan sosial juga berkembang pesat dengan 271 unit persetujuan seluas 701 ribu hektare hingga Juni 2025.

Untuk pembangunan di kawasan hutan, telah diterbitkan 49 PPKH mencakup 83.199 hektare, terdiri dari kegiatan tambang dan non-tambang.

PNBP sektor kehutanan menunjukkan tren fluktuatif dalam lima tahun terakhir, mencapai puncak Rp108,3 miliar pada 2022, namun menurun pada 2023–2024. Piutang dari pemanfaatan kawasan hutan masih mencapai Rp73,4 miliar yang perlu ditagih.

“Selain belum ada mekanisme bagi hasil dari PNBP PKH ke daerah, pengawasan di lapangan pun terbatas,” ujarnya.

Tren penurunan TKDD dari sektor kehutanan juga menjadi perhatian. Jika pada 2019 mencapai Rp54,4 miliar, tahun 2025 hanya tinggal Rp10,6 miliar. Dana Reboisasi dan PSDH menjadi penyumbang utama TKDD.

"Rakor ini diharapkan melahirkan solusi konkret demi menjaga keberlanjutan fiskal daerah dari sektor sumber daya alam," tutup Ria Norsan. (rfa/nzr)

Tinggalkan Komentar

Back Next